Derajat Pelayanan Kesehatan Yang Optimal

Oleh: Rif’atul Hidayat, S.Sy., M.H.

Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MKHI)
Dosen Farmasi Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan

“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”

Di Indonesia hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya yaitu di bidang kesehatan, setiap tanggal 7 April diperingati oleh seluruh masyarakat di dunia sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pancasila dan UUD 1945.

Membicarakan hak asasi manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari Negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT patut memperoleh apresiasi secara positif.

Dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan di bidang kesehatan. Hak atas derajat kesehatan yang optimal akan semakin kuat klaimnya jika dijustifikasi dengan jalan mengaitkannya dengan hak hidup, berhak atas hidup, ekuivalen dengan berhak atas derajat kesehatan yang optimal. Pada mulanya upaya penyelenggaraan kesehatan  hanya berupa upaya  pengobatan  penyakit  dan  pemulihan  kesehatan.  Kemudian  secara  berangsur-angsur berkembang kearah kesatuan pada upaya pembangunan kesehatan yang menyeluruh, terpadu  dan  berkesinambungan yang  mencakup  upaya  promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan).

 

1. Kesehatan Optimal Sebagai Hak Asasi Manusia

Sejak kesehatan diakui sebagai sebagai salah satu hak asasi manusia, dalam penerapannya terdapat  berbagai pengertian. Hal tersebut tidak terlepas dari pengertian ”kesehatan”.  Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap prang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Dalam Pasal 4 UU kesehatan ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan”, sedangkan Pasal 28 H  UUD 1945, menegaskan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Dalam kepustakaan kesehatan, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut hak asasi manusia di bidang kesehatan, seperti “hak asasi atas kesehatan” (Human Right to Health), atau “hak atas kesehatan”(Right to Health), atau “hak memperoleh derajat kesehatan yang optimal” (The Right to Attainable Standard To Health). Hukum berkepentingan  bukan pada istilah, melainkan pada makna yang terkandung dalam istilah tersebut. Apalagi setelah UUD 45 memberikan jaminan konstitusional terhadap hak atas kesehatan, mengenali hak tersebut secara benar menjadi sangat penting bagi hukum.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 telah menetapkan Universal Declaration of Human Rights, yang di dalamnya mengatur hak atas kesehatan. Dalam Pasal 25 ayat (1) dinyatakan: “Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan…”.

Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948 telah menegaskan pula bahwa “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being”. Istilah yang digunakan bukan “Human Rights”, tetapi “Fundamental Rights”, yang kalau kita terjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia menjadi “Hak hak Dasar”.

2. Hak Atas Derajat Pelayanan Kesehatan Yang Optimal Merupakan Kewajiban Pemerintah

Dalam pasal 9 ayat (1) UU Kesehatan dinyatakan, bahwa “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya”. Ayat (2) menegaskan, bahwa “Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan”. Seperti yang dikemukakan, kesehatan sebagai hak asasi manusia tidak terlepas dari ciri-ciri hak asasi manusia, yaitu “hak” dalam arti yang sesungguhnya dan bersifat prima facie.  Kalaupun ada kewajiban yang melekat pada hak asasi manusia, hal itu semata-mata sebagai  pembatasan agar pelaksanaan hak asasi manusia tersebut tidak melanggar hak asasi orang lain. Kenapa kewajiban itu tidak hanya ditujukan untuk memelihara kesehatan orang lain, tetapi juga kesehatan perseorangannya? Untuk menjelaskan hal ini penulis menggunakan contoh seorang perokok. Sangat logis apabila seorang perokok dilarang merokok di tempat umum karena akan mengganggu kesehatan orang lain. Dalam kasus ini melekat kewajiban bagi diri si perokok, namun pada saat dia merokok sendiri atau di tempat yang khusus untuk merokok, larangan tersebut menjadi tidak logis.

Menurut penulis, lebih mudah memahani kewajiban asasi dalam kontek tanggung jawab negara/ pemerintah untuk memenuhi hak asasi manusia. Dalam contoh di atas, perokok yang sakit akibat merokok tidak dapat menuntut haknya  kepada pemerintah atas derajat kesehatan yang lebih baik, kecuali yang bersangkutan terlebih dahulu berhenti merokok.

Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia memiliki landasan yuridis internasional dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Kewajiban pemerintah ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Dibidang kesehatan, Pasal 14 ayat (1) UU Kesehatan menyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”. Pasal 15 UU Kesehatan menyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tantanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya”.

Dengan demikian, adanya pengakuan baik menurut Hukum Nasional maupun Hukum Internasional terhadap hak atas kesehatan tidak  berarti masyarakat mempunyai hak untuk sehat. Siapapun pada dasarnya tidak mampu menjamin suatu kondisi kesehatan tertentu, baik Pemerintah maupun masyarakat.  Kondisi kesehatan individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tinggal dan  keturunan. Oleh karena itu substansi hak atas kesehatan sangat relatif, karena derajat tertinggi yang dapat dicapai tersebut dapat bervariasi sesuai waktu dan tempat.

 

This Post Has One Comment

  1. qui nihil assumenda est earum qui omnis impedit aut aut repellat et quia eos animi itaque. qui animi pariatur et quod natus magni est suscipit commodi repellendus repudiandae hic maiores qui totam duc

Tinggalkan Balasan